Selasa, 02 Desember 2008

Kebahagiaan yang Hakiki

Kebahagiaan yang Hakiki


Oleh: Al-Habib Abdullah Haddad

Kitab : ‘An-nashaaih ad-diniyah wal washaaya alimaaniyah”

Majalah Akhbar Rabithah edisi kesembilan/Rhamadhan 1429H/Sept 2008


Ketahuilah, bahwa tanda bahagia ialah, manakala Allah SWT memberi taufik kepada hamba-Nya untuk beramal saleh di masa hidup dan memudahkan baginya jalan menuju ketaatan. Akan halnya tanda celaka ialah manakala Allah SWT menyulitkan baginya untuk beramal saleh dan dibukakan pula jalan untuk melakukan kejahatan.

Rasulullah SAW bersabda:

Bekerjalah, sesungguhnya setiap orang itu dimudahkan kepada apa yang ditakdirkan baginya. Jika ia ditakdirkan menjadi ahli surga, maka akan dimudahkan baginya amalan ahli surga, jika ditakdirkan menjadi ahli neraka maka akakndimudahkan baginya amalan ahli neraka

Ketahuilah, bahwa seorang mu’min yang sungguh-sungguh memperhatikan urusan agamanya, yang teguh ilmu dan keyakinannya ialah orang yang memperbaiki amalannya terhadap Allah SWT dan giat menyempurnakannya. Setelah itu baru ia boleh menyandarkan diri kepada Allah SWT dan rahmad-Nya.

Sebagaimana para anbiya, ulama, salaf saleh dan orang-orang yang mengikuti jejak langkahnya, semuanya tidak menggantungkan diri kepada amal ibadah, melainkan mengharapkan rahmat Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda:

Tak seorangpun bisa memasuki surga dengan amalannya”. Para sahabat bertanya, “Sama jugakah engkau, wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda, “Begitu pula aku, melainkan Allah memasukkan aku didalam rahmad-Nya”

Sebagai contoh, Rasulullah SAW sendiri amat rajin mengerjakan amal saleh, sehingga kedua tumitnya bengkak karena terlampau banyak sholat waktu malam.

Akan halnya orang yang rajin beramal saleh, kemudian dia bergantung kepada amalannya itu, maka ia adalah seorang yang ‘ujub dengan dirinya, berani dengan Tuhannya. Sebab amalannya tidaklah berarti tanpa rahmat Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nur 21, “.....sekira tidaklah karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dapri perbuatan keji dan munkar itu) selamanya, tetapi Allah memberihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha Mendengar lagi maha Mengetahui”.

Karenanya untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, yaitu dirahmati Allah SWT kita harus memperbaiki amalan dan hanya berharap rahmat dari Allah semata.

Berkata al-Hasan al-Bishri.”sesungguhnya mencita-citakan pengampunan itu telah memperdaya banyak orang sehingga mereka meninggalkan dunia dalm keadaan bangkrut, tidak memiliki bekal amal saleh sama sekali. Beliau menambahkan lagi. “seseungguhnya seorang mu’min itu beribadah seraya takut kepada Allah SWT, sedang seorang munafik membuat kejahatan seraya merasa aman dan tentram. Na’uzubillahi min dzalik.

Tidak ada komentar: